The Story of Pitung, The Robin Hood of Batavia

Nama Besarnya Sudah Sangat Terkenal di Zamannya & Ditakuti Lawan, Disegani Kawan, Dia “Robin-Hood” asli Indonesia.

kandidat-kandidat.com, Kamis 23 April 2015, 14:54 WIB

Makam si Pitung depan kantor Telkom Rawabelong, Jakbar.

RAWABELONG, bksOL -- Siapa yang tak kenal Si Pitung yang mempunyai teman bernama Dji-ih? Dia adalah seorang tokoh pahlawan lokal asli dan sudah melegenda di benak rakyat Betawi. Nama besarnya sudah sangat terkenal di zamannya dan sangat ditakuti lawan dan disegani kawan.

Dia semacam “Robin-Hood” asli Indonesia. Si Pitung selalu membela rakyat kecil dari penindasan dan penjajahan kompeni. Bagi VOC, Pitung merupakan TERORIS dan berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan usaha mereka di Batavia saat itu.

Berikut kilasan sejarah Si Pitung yang melegenda tersebut :

Si Pitung lahir di daerah Pengumben, di sebuah kampung di Rawabelong yang pada saat ini berada di sekitar lokasi Stasiun Kereta Api Palmerah. Ayahnya bernama Bang Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah. Si Pitung menerima pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh Haji Naipin, seorang pedagang kambing.

Pitung merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, pasangan suami-istri Piun dan Pinah. Berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong.

Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran.

Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan. Masa mudanya, dihabiskan dengan mempelajari ilmu silat dengan pengawasan gurunya di Rawabelong selama mempelajari silat.

Kehebatan gerak silat Pitung diuji ketika usai menjual kambing di Tanah Abang. Uang hasil penjualan dicopet segerombolan pemuda. Terjadilah perkelahian dengan kawanan pencopet. Dalam beberapa jurus, seluruh copet kampung itu terkapar di tanah. Melihat kehebatan korbannya, kawanan pencopet itu malah meminta agar Pitung menjadi pemimpin mereka.

Menjadi pemimpin pencopet, Pitung mulai beraksi. Namun kali ini korbannya bukan warga biasa karena ia pernah berjanji untuk membela warga yang lemah.

Selama belajar silat itu, Pitung merasakan kehidupan orang Betawi dan Belanda (Eropa) sangat kontras. Dibalik penjajah yang disebut tuan besar, termasuk tuan-tuan tanah yang hidup mewah, Pitung melihat penderitaan rakyat kecil di sekitarnya.

Kondisi inilah yang membuat ia suka melakukan perampokan terhadap orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah, yang membelenggu petani dengan berbagai blasting (pajak). Hasil rampokannya itu dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin.

Menurut Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, teroris dan dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras orang-orang kaya.

Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma, bukan?

Menurut kabar, Pitung menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.’

Pitung yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman Karmani (Till, 1996).

Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial.

Menurut Rahmat Ali, ‘Pitung sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang setimpal’ (Rahmat Ali 1993:7).

Beragam pro dan kontra menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan oleh “Orang Betawi” terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda.

Apakah hal ini benar atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial dari belenggu penjajah.

Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.

Pada tahun 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihat untuk menangkap Si Pitung.

Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian, pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil.

Karena kejadian tersebut, Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seorang Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2). Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.

Berdasarkan rumor, Pitung pernah menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu dengan nama Prasman.

Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda, 12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan.

Karena sulitnya menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan Pitung menjadi meningkat sebesar 400 Gulden.

Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan, jika Pitung ditembak justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh kepolisian Batavia untuk menembak di tempat walaupun pada akhirnya hal ini dilakukan juga.

Sebagai tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk dengan menggunakan sejata api.

Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2).

Dia juga mencuri dari wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol revolver dengan pelurunya.

Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).

Dji-ih ditangkap kembali di kampung halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan. Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal.

Kepala kampung pada saat itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk menangkap Dji-ih dirumahnya.

Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda 19-8-1893:2).

Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke Singapura.

Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu kemudian.

“’Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.’ (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)

Beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda 18-10-1893).

Kemudian, Hinne menembaknya dalam penyergapan itu. Pitung ditembak di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya, tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman Kampung Baru pada jam 5 sore.

Setelah Hinne menangkap Pitung, setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden.

Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar “Pitung-Pitung” yang lain tidak terjadi lagi di Batavia.

Bahkan karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.

Berdasarkan cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen tersebut di atas.

Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada hari Sabtu.

Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi), tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat di-”lemahkan” jika dipotong rambut-nya.

Berdasarkan koran Hidia Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.

Rumah Si Pitung yang terletak di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, diperkirakan dibangun pada abad ke 19.

Si Pitung sendiri lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat. Karena keberaniannya melawan penjajahan Belanda membuat nama si Pitung menjadi buah bibir masyarakat masa itu hingga kini.

Dimanakah makam Si Pitung sekarang?

Tidak ada perbedaan yang mencolok dari sebuah makam yang berada di depan halaman kantor Telkom, Jalan Raya Kebayoran Lama, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Seperti layaknya makam-makam di Jakarta, makam yang ditumbuhi pohom bambu tersebut juga diberikan kumpulan batu bata merah di sekelilingnya, sebagai tanda bahwa di lokasi tersebut disemayamkan sebuah jasad.

Namun berbeda dengan makam lain, yang memiliki batu nisan, yang memberikan informasi tentang tubuh siapa yang dikebumikan, di makam yang hanya dipisahkan saluran air dengan lebar satu meter dari jalan raya itu, dengan pagar berukuran sekitar 5X5 meter yang mengelilinginya, tidak terdapat tanda bahwa di sana disemayamkan seorang legenda Betawi, Pitung.

"Ya di situ makam Pitung, pahlawan asli Rawabelong. Di depan kantor Telkom itu," jelas sesepuh Rawabelong, Nur Ali Akbar (65) saat ditemui merdeka.com di rumahnya, Jalan Yahya, RT 2, RW, 7, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Sabtu (8/9).

Lebih lanjut, meski tidak ada bukti otentik, semisal batu nisan yang memberikan informasi tentang siapa yang dimakamkan, pria yang juga ahli beladiri Betawi, Cingkrik ini yakin jika yang dikebumikan itu adalah si Pitung, Robin Hood Betawi.

“Dari cerita bapaknya kakek pak haji nih, di makam itu, Pitung dimakamkan.”

Meski tidak mengetahui tanggal dan tahun kapan pastinya Pitung meninggal dunia, Haji Nunung membantah jika Pitung memiliki ilmu Rawa Rontek, seperti yang selama ini beredar. Karena menurutnya ilmu Rawa Rontek adalah ajaran agama Hindu.

Melihat kondisi makam yang mengenaskan. Dari pantauan awak media seperti kondisi makam yang dijelaskan di atas, peristirahatan Pitung itu juga tidak memiliki pengurus makam.

Bahkan untuk membersihkan daun-daun bambu yang berguguran, terkadang petugas Telkom berinisiatif sendiri untuk membersihkannya.

Untuk itu, Haji Nunung berharap kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya, pemerintah kota Jakarta Barat untuk memberikan perhatian terhadap makam Pitung. Perhatian yang diharapkannya, pemerintah mau mendirikan semacam monumen.[■]
Editor: DikRizal

Referensi :
Margereet Van Till, 1996, In Search of Si Pitung: The history of an Indonesian legend, dalam Bijdragen tot de Taal-, (Land- en Volkenkunde 152, no: 3, Leiden, 461-482)

Basoeki Koesasi, 1992, Lenong dan Si Pitung, Centre of Southeast Studies-(Australian National University).

Palupi Damardini, 1993, Cerita Si Pitung Sebagai Sastra Lisan: Analisis Terhadap Struktur Cerita, Tesis Master, (Fakultas Sastra Universitas Indonesia)

Rahmat Ali, 1993, Cerita Rakyat Betawi I, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

"Makam Tokoh Betawi, PITUNG ditemukan di Palembang, Alhamdulillah!!!"




TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Sebuah artikel di blog internet chirpstory mengklaim telah menemukan kuburan Si Pitung, legenda masyarakat Betawi, berada di pemakaman Puncak Sekuning, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang.

Artikel berjudul "Makam Tokoh Betawi, PITUNG ditemukan di Palembang! Alhamdulillah", telah membuat heboh. Artikel dilengkapi foto makam.

Banyak netizen yang tidak percaya, tetapi ada juga yang percaya setelah membaca penjelasan penulis di blog itu.

Disebutkan, Si Pitung bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan bela diri dan melawan penjajah yang selama ini dikenal masyarakat luas .

Versi blog tersebut, Pitung merupakan sebuah organisasi perlawanan rakyat terhadap pemerintahan Kolonial Belanda. Singkatan Pitung yakni Pituan Pitulung, yang bermakna tujuh orang penolong.



Nama ke-7 Pendekar itu adalah :
1. Ratu Bagus Muhammad Ali Nitikusuma (GUGUR TERTEMBAK)
2. Ratu Bagus Roji’ih Nitikusuma (GUGUR TERTEMBAK)
3. Ratu Bagus Rais Sonhaji Nitikusuma
4. Hasan
5. Saman (nama Panggilan)
6. Jebul (nama samaran)
7. Abdullah (Dulo)

Penulis mengambil sumber dari Pitung dari Kemanggisan/Kemandoran.

Keberadaan organisasi PITUNG ini, tentu sangat menghawatirkan Belanda, dengan segala upaya mereka berusaha padamkan perlawanan masyarakat Betawi.

Dua orang dedengkot PITUNG, Muhammad Ali dan Roji’ih, berhasil mereka bunuh, namun PITUNG ternyata tidak bubar, bahkan pada tahun 1893 muncul Anggota Pitung yang tidak kalah menakutkan mereka, yaitu Kyai Haji Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma
Pada 1914, Ahmad Syar’i bersama 2 rekan seperjuangan, membentuk organisasi perlawanan yang bernama “KI DALANG”. Pada masa itu, dikenal 3 (tiga) orang pemimpin yaitu:

a. KI SAMA’UN , yang berpusat di Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang (kini masuk wilayah Provinsi Banten)

b. KI SYAR’IE (KH AHMAD SYAR”IE MERTAKUSUMA), berpusat di Bambu Larangan Cengkareng Jakarta Barat.

c. KI ABDUL KARIM DAIM, berpusat di Kampung Duri Gang Jamblang.

Perlawanan “KI DALANG” ini berakhir pada tahun 1924, yang ditandai dengan terbunuhnya Ki Sama’un, serta tertangkapnya Ki Syar’ie, Ki Abdul Karim Da’im bersama pemimpin lainnya.

Tidak beberapa lama ditahan, Ki Syar’ie berhasil kabur, namun beliau tertangkap di Kota Bandung, dan dijatuhi hukuman gantung oleh Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Tetapi belum sempat dihukum, Ki Sya’ie untuk kedua kalinya berhasil melarikan diri.

Selama bertahun-tahun pihak Belanda mencari keberadaan Ki Syar’ie ini, tetapi tidak juga mereka temukan. Dalam pelariannya Ki Syar’ie sempat ke Medan, kemudian di tahun 1926 bermukim di Kota Palembang (Sumber : Biografi Kyai Haji Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma).

Dan makam yang ditemukan oleh Muhammad Ihsan di Palembang, merupakan makam dari Ki Syar’ie atau Kyai Haji Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, pembentuk organisasi ‘KI DALANG” sekaligus anggota Kelompok PITUNG yang paling dicari Pemerintah Kolonial Belanda.

Setelah masa kemerdekaan ia tetap menjadi misteri. Hingga akhirnya, pada 25 Desember 2014, makam Ki Sya'ie berhasil ditemukan di pemakaman Puncak Sekuning.

"Hari Kamis Sore, tanggal 25 Desember 2014, yang bertepatan dengan tanggal 3 Rabiul Awwal 1436 H, makam tokoh Betawi, yang juga anggota PITUNG berhasil ditemukan di Pemakaman Puncak Sekuning Palembang...," kutip artikel Chripstory.

Juru Kunci Kaget
Juru kunci dan para penggali kubur di pemakaman umum Puncak Sekuning, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, kaget mendengar informasi di pemakaman itu ada kuburan Si Pitung, legenda Betawi. Mereka baru pertama kali mendengar kabar itu.


"Kabar darimana itu? Ah baru kali ini saya dengar kalau ada makam Si Pitung di pemakaman Puncak Sekuning," kata juru kunci, Yang Cik ketika ditemui awak media Tribun Sumsel di tempat para penggali kubur berkumpul.

Sepanjang pengetahuan dia, belum ada informasi terkait hal tersebut. Yang Cik sudah menjadi penggali kubur di tempat itu sejak 1978. Hingga sekarang tidak mendengar kabar demikian.

Ia menjelaskan pemakaman Puncak Sekuning sudah menjadi pemakaman sejak tahun 1819. Umumnya pemakaman pada zaman dahulu, nisan di tempat tersebut hanya sebuah batu saja. Bilapun ada tulisan kebanyakan memakai huruf arab, bukan huruf alfabet.

Selain itu pemakaman di Puncak Sekuning hanyalah pemakaman orang biasa, bukan pejuang ataupun kerabat kesultanan. Benar-benar hanya pemakaman untuk orang biasa, begitu katanya.

Dia melihat sebuah foto nisan bertuliskan nama serta tahun pada nisan yang Tribun Sumsel perlihatkan padanya. Foto itu yang diklaim di blog internet chirpstory sebagai makam Si Pitung.

Melihat foto tersebutYang Cik yakin bila kabar tersebut hanyalah bohong belaka.

"Kalau dia makam tua, memakai huruf Arab. Kalau enggak berarti masih muda. Apalagi itu tertulis jelas tahun 1957, jelas bukan yang dikabarkan Si Pitung dari Betawi. Saya juga gak pernah melihat nisan kayak gitu di sini," katanya.

Bukan Organisasi.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumsel, Farida R Wargadalem, tidak percaya kuburan Si Pitung, legenda Betawi, ditemukan di pemakaman Puncak Sekuning, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang.

Dia mengatakan tak usah mempercayai informasi yang tidak memiliki sumber atau rujukan jelas. Sebab sebuah informasi yang tanpa sumber jelas merupakan informasi yang salah.

"Sumbernya dari mana? Rujukannya dari mana? Semua itu harus jelas. Karena rujukan itu harus bisa dibuktikan. Kalau itu gak jelas ya gak usah dipercayai atau diklarifikasi," katanya pada Tribun Sumsel.

Menurutnya, Si Pitung adalah legenda. Masyarakat Betawi dan Indonesia menggambarkan seorang tokoh bukan sebuah organisasi.[■]

Editor: Anita K Wardhani





Post a Comment

Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur bksOL

Previous Post Next Post