Umurku Sudah 47 Tahun, Sudah Jadi Apa aku?

banner

Keluhan Ketika Aku Sadar Umurku Telah Paruh Buaya, eh Paruh Baya.

bekasi-online.com, 26 Juli 2015, 10:11 WIB


BEKASI, bwkasi-online, Gak terasa, sudah 47 tahun aku hidup di dunia tahun 2015 ini, dan ternyata aku baru tahu kalau aku dilahirkan tahun 1968. Pinter matematika kan gue?

Anehnya aku merasa apa keistimewaan yang telah kudapatkan dari karunia Allah yang begitu banyak sehingga aku HARUS gelisah dan mengeluh?

Padahal aku gak pernah bercita-cita jadi komika apalagi bakalan terkenal di negeri ini. boro-boro mimpi terkenal, kebayang juga kagak.

Tapi keinginan untuk bisa menghibur orang dengan stand up comedy dan niat bagaimana menjadi bermanfaat bagi sesama dengan cara komedi tunggal dimana kemampuan menceritakan kegelisahan secara menarik bagi audiens untuk bisa saling mentertawakan diri sendiri. Itu keinginan yang paling besar.

Kayaknya ada yang gak singkron, ya? Gelisah dan bersyukur adalah dua hal yang harus aku miliki, jika mau jadi komedian stand up comedy. Bisakah hal itu terjadi? Kenapa enggak!!? Teriak akal kepada hati nuraniku sendiri.

Ah sudahlah... Nanti juga akan terjawab dengan sendirinya.
Anyway, sudah berapa nikmat  yang Allah berikan, dan aku belum sempat menghitungnya. Mohon ampun ya Allah, aku hambaMu yang bodoh dan lalai dengan segala nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku. Maafin banget ya Allah, jangan murka ya Rob? Gue emang bloon banget, eh... hamba memang bodoh sekali.

BERSYUKUR vs GELISAH
Mulai dari ujung rambut, meskipun kini sudah mulai tampak kebotakan menghampiri kepalaku. Tapi bukannya sejak aku masih remaja, jidatku sudah jenong? Lebih lebar area bersih rambutnya daripada area yang ditumbuhi rambut di kecamatan jidat bin kening?

Lalu kenapa sekarang, aku harus peduli dengan kebotakan yang mulai jadi teman baru kepalaku. Toh, aku gak sebotak atau segundul teman-temanku yang sebaya. Alhamdulillah masih ada yang lebih botak dan bondol.

Ini membuktikan kita jadi tahu artinya bersyukur, setelah tahu orang lain lebih menderita daripada kita. Dan itulah gunanya teman sebaya. Jadi obyek penderita.

Emang sih sudah semenjak remaja, aku merasa gak nyaman dengan jidatku yang jenong. Tapi setelah beberapa guru dan teman memberikan referensi bahwa lelaki dengan jidat lebar itu cenderung cerdas dan pintar. Sedikit ada kebanggaan. tapi masih belum cukup untuk menutupi egoku sebagai cowo remaja yang berharap disukai banyak cewe dari penampilan fisik. Wajar saja saat kuliah aku mulai memanjangkan rambut. Ya gondrong itu identik dengan keren bagiku pada saat itu.

Tapi masa remaja adalah masa yang berubah-rubah, meskipun hingga kuliah tingkat akhir. Gak jelas maunya apa. Yang jelas segala cara untuk menarik perhatian lawan jenis. Misalnya dengan berubah-rubah gaya potongan rambut.

Mulai dari gundul saat masa orientasi mahasiswa baru. Botak dan cepak tentara jadi trend semua mahasiswa. mirip dengan masa SMA dulu. Bedanya, secara fisik badan saya mulai bertambah besar dan berisi ketika kuliah.

Saat SMA, aku memang tampak cungkring. Banyak sahabat dan teman sekelasku yang ikutan ekskul, seperti karate, pramuka dan bahkan bola basket. Sehingga secara bertahap fisik mereka memang ada perubahan. Tapi umumnya memang mereka punya dasar fisik yang bagus dan besar. Sedangkan aku kurus kerempeng, itulah sebabnya mending ikutan jadi pengurus OSIS dan kebagian di departemen komunikasi, mengurusi majalah dinding. Tahu kan majalah yang bikinnya ditempeli di dinding? Mirip cerita AADC kan, cuman bukan sebagai Rangganya, tapi sebagai papan tulis hitam majalah dinding. Gak lucu kan... Ya iyalah... orang itu bo'ong.

Tapi dari pengalaman mengurusi majalah dinding sekolah, aku bisa dapat... kertas A4 gratis. Aargh! Bukan itu.

Eh kok jadi ngomongin fisik sih? Orang lagi cerita potongan rambut, kok malah larinya ke bentuk tubuh. Lu tuh gak konsisten Dik... Cerita yang runut. ULANGI. Lagian ini apaan lagi... lagi cerita rambut dan gaya potongan, terus cerita majalah dinding.

LUPAKAN MASALAH RAMBUT. Nanti dilanjut lagi.
Ternyata susah banget ya untuk mencoba TIDAK LUCU. Yes, it's hard for me to trying NOT to be FUNNY. Selalui dihantui oleh ucapannya Raditya Dika, "Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"

Dan mimpi buruk itu berulang-ulang hadir di setiap tidurku....
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"
"Mas Dik masih nampak sedang berusaha untuk lucu. Try to be funny. Cobalah untuk relax!"

Dipikirnya gampang kali. Tapi aku pernah kok MENCOBA untuk relax tampil di depan orang untuk bercerita dengan jujur dan tidak try to be funny. Cuma itu DULU ketika aku jadi dosen, jadi guru dan jadi asisten dosen. Sewaktu usia masih belasan tahun sampai dengan 25 tahun.
Kampret banget kan si Batman...?

Kepala kayaknya mau copot. Kok susah banget ya bercerita jujur bahwa aku ini sebenarnya sedang gelisah dan kesal dengan keadaanku sendiri. Usia sudah 47 tahun dan gak bisa kembali seperti dulu, tapi kenapa belum jadi orang yang sukses? Belum bisa jadi presiden, gantikan Jokowi... atau jadi menterinya Jokowi kek, biar bisa bilang kesemua orang... Saya menteri kabinet presiden terbodoh dan terlemah se Indonesia. Aaaargh... sudahlah. Nanti aku ditangkap BIN lagi, karena membuka rahasia negara.

Anehnya, kok ya ada teman yang curiga denganku, "Dik, elo kerjanya di BIN ya?"
"Hapah?!!!! BIN? Bin Laden maksud loh?"

Dan setelah aku jawab seperti itu, dia cuma tertawa ngakak. Entah nyindir aku atau memang ngeledek habis. Susah mencerna candaan temanku... makanya aku lebih suka orang berkata sarkastik, dibandingkan mereka menyindirku. Sudah kayak orang psikopat, aku gak bisa mudah tersinggung.

Intinya adalah, sekarang semuanya tergantung diriku. apakah aku akan selalu mensyukuri nikmat dari Allah, berupa kepala indah yang kumiliki sekarang ini, atau aku protes pada Allah dan mencopotnya, kemudian aku minta Allah menggantinya dengan kepala yang lain. Misalnya, kepalaku diganti dengan kepalanya Brad Pitt. Kan potongan rambutnya selalu jadi trend bukan?

Iiiih, serem.... amit-amit cabang becak. (Dik itu abang becak, bukan cabang becak....!)

INDERA PENGLIHATAN MENURUN
Masya Allah... nampak banet penurunan kualitas jarak pandang dan ketajaman indera penglihatanku. Gimana nggak turun, beberapa tahun lalu aku ikut latihan menembak dengan pistol bersama temanku yang juga guru silatku, pak H. Gito, Dia sudah berusia 70 tahun, tapi indera penglihatannya masih setajam mata elang. Dia bisa menembak sasaran kecil dalam jarak lebih dari 10 meter. Sedangkan aku, sudah dikasih jarak 3 meter aja, botol AQUA plastik kecil gak kena-kena. Pake satu tangan gak kena, dua tangan juga tembakan meleset. Seperti bekas tangan patah saat kecelakaan motor gedeku di Purwokerto sangat mempengaruhi kemampuanku menembak jitu. Anehnya aku kok bisa punya dua istri yah... artinya aku JAGO NEMBAK kan?

Memang aku sudah memakai kacamata minus sejak SD. Tapi guru beladiriku, pak H.Gito selalu bilang, menembak itu memang sangat membutuhkan indera penglihatan, tapi banyak sekali di dunia, prajurit penembak jitu dan pihak polisi yang menggunakan kacamata minus. Malah profesi sniper tak sedikit yang menggunakan kacamata minus. Ah, itu kan kalimat apologis dari dia aja.... Sebenarnya beliau cuma ingin memberiku semangat untuk tidak menyerah.

"Pak haji, mendingan saya jadi jagoan nembak cewek aja deh.... Kayaknya saya gak bakat nembak pake senjata api. Kecuali nembak cewek. Saya juga jago nembak istri saya pake pistol air...!"

Dan PLAAK!!! Kepalaku digampar lelaki beruban yang masih berbadan kekar ini sambil tertawa. "Hahahaha.... makanya kamu gak bisa nembak pistol api, otaknya masih jorok aja! Terus latihan... Tahan napas, bidik dan remas picu...!" perintahnya tegas.

Meskipun sudah 3 minggu, aku masih bisa menembak jitu dalam jarak 10 meter. Butuh istri tambahan kayaknya. *Apaan sih Mas Dik?

KACAMATA MINUS 5 DAN 7
Saatmasih SD, pihak dokter mata sudah memvonis aku dengan minus 3.5 per biji mata. Kata dokter Kadarisman, dokter yang sekaligus optician itu bilang, sebenarnya mata saya tidak myopi, alias mata minus. Aku kaget, "Masa sih Dok?" Dia cuma mengangguk, "Tapi mata yang itu...!" dia menunjuk mata kakiku. Kampret banget ini dokter. Gak lucu Dok, tauk!?

Gak tahu kenapa justru setelah duduk di SMA dan kuliah, minus myopi ku malah bertambah. Bahkan pernah menembus rekor olimpiade, minus 8 dan 7,5 biji mata kanan kiriku. Ya Allah... minus mataku kok sama parahnya sih dengan tingkah laku minusku.

Tapi belakangan hari, entah rejeki atau memang karunia dari Yang menciptakan aku, Aku berobat terapi obat tetes madu. Minus mataku kini berkurang hingga minus 4 dan 4,5 lagi. Berkat klinik Tongfang? Gak juga, berkah dari terapi herbal cara pengobatan nabi lah... Ge-er banget si Tongfang.

Sayangnya aku harus menghentikan terapi myopi itu di tengah jalan, karena anakku yang perempuan bilang; "Abi jangan sampai sembuh total matanya. Soalnya abi jelek banget tampangnya, kalo gak pake kacamata."

Aduuuuhhh! Anakku sendiri aja mengkritik anatomi wajahku karena kacamata yang kupakai. Tapi aku setuju dengan idenya. Kacamataku itu selain menambah ketampanan di mukaku. Apaan? Tampan? Hahaha... enggak, maksudnya adalah supaya gak jelek-jelek amat.

Dan lagi dengan kacamataku ini setidaknya menutupi KEBODOHAN yang tampak jelas di mataku. Hitung-hitung investasi penampilan, lah. Pepatah populer mengatakan kacamata menunjukkan kecerdasan. Itu aja. Lainnya gak ada, kecuali harga kacamatanya yang menentukan tingkat kegantengan.

Temanku pernah bilang, "Dik, dari kacamata elu aja, kelihatan banget lo gak ikhlas."
"Gak ihlas gimana?" jawabku
"Kacamata minus itu gunanya supaya lo bisa baca dan melihat sekitar dengan jelas bukan? Kenapa efek sampingnya yang lo pikirin? Biar ganteng lah, biar kelihatan pinter lah. Gak ikhlas amat?"

Dia benar, kupikir semua sindirannya tepat. Aku yang gelisah gak nyaman aja dengan kacamat agak berat menjepit hidung dan kedua telingaku ini.

Jadi ingat saat pertama kali pake kacamata untuk dua fokus. Selain minus, aku ternyata punya silindris dan plus. Pastinya sudah ditawari oleh perawat optiknya bahwa sebaiknya menggunakan kacamata bifokus. Bukan karena mahal harganya, cuma, semakin nampak saja kalau dengan kacamata bifokus jika aku sudah paruh baya empat puluhan tahun. Karyawan optik itu sepertinya mengerti kegelisahanku, tanpa menyerah dia menawarkan kacamata bifokus yang tak nampak batasnyaatau seamless bifocus lense. Kayaknya harus mencobanya sebelum orang itu merampokku untuk membayar kacamata.

Ajaibnya kacamata itu bisa selesai dalam waktu 2 hari, apalagi ketika aku bayar lunas dengan merogoh dompet hingga 2 juta rupiah. Kampret, kacamata kakek-kakek itu mahal juga ya? Pantas saja orang gak ada yang mau jadi kakek-kakek berkacamata.

(Cerita akan berlanjut. Jangan kemana-mana... nanti takjilan buka puasanya habis...!)










Post a Comment

Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur bksOL

Previous Post Next Post