contoh iklan header
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Aku Yatim Apakah Aku Bahagia?

banner
Tak tahu aku kenapa Allah begitu cinta kepada kami, ketika ayahku dipanggil menemuiNya di usianya yang terbilang sangat muda, 35 tahun, sedangkan aku anak sulung baru berusia 6 tahun.

Kami yatim, justru pada saat kami membutuhkan figur seorang ayah pada level tertentu. Aku pun tak sadar setelah berusia lebih dari 40 tahun, aku telah menjadi yatim.

Figur ayah yang selalu bisa menemani kami, hanya jadi memori indah saat kami masih kecil tak bercacat. Aku, Rizal, masih berusia enam tahun, Adikku Linda berusia lima tahun, Adikku Farid berusia empat tahun, Adikku Iskandar berusia tiga tahun dan si bungsu kami, Laila berusia 1 tahun, bayi mungil yang tak bisa mengingat seperti apa bapaknya.

Aku pun masih ingat ketika aku dan adik-adikku dibimbing oleh ibu kami, yang menggendong si bungsu melewati keranda ayahanda kami. Tak sempat kulihat ibundaku menitikkan air mata kesedihan yang luar biasa, saat itu. Yang baru kutahu ketika aku remaja, dari penuturannya saat merasa sedih mengenang kepergian ayah di usianya yang terbilang masih muda.

Ibundaku seorang pegawai negeri di inspeksi Pajak, Departemen Keuangan, mungkin ini yang membuat keluarga kami bisa bertahan atas izin Allah.

Namun tetap saja seorang pegawai negeri wanita, manalah sanggup bekerja, menjaga anak-anaknya yang masih kecil dan butuh perhatian banyak, akhirnya ketiga adikku terkecil, Farid, Iskandar dan Laila dirawat oleh mbah putri dan bude-bude kami di Prembun Kebumen.

Wajar saja, dan sekali lagi sangat wajar jikalau karakter kami saat dewasa kelak sangat berbeda. Bagiku itu adalah hal yang lumrah, karena kalaupun ayah kami ada, dan ibu yang menjaga kami, karakter kami tak akan serupa satu sama lainnya.

Jadi yang ikut ibunda di Jakarta, hanya aku dan Linda adikku. Untungnya beberapa saudara sepupuku yang sudah remaja secara bergantian saat itu membantu ibuku untuk merawat kami. Mulai dari keponakan yang tertua, Sumardiyono, yang akrab kupanggil mas Sum, kakak sepupu kesayanganku, tapi bukan favorit adikku Iskandar. Ini akan jadi cerita tersendiri di lain waktu.

Sayang ibu belum bisa membeli rumah sendiri, jadi kami tinggal berpindah-pindah rumah dari satu kontrakan murah ke kontrakan lainnya. Aku tak peduli saat itu, yang paling penting aku bisa belajar dan bermain layaknya seorang anak kecil punya keinginan.

Namun dari semua kenangan manis tentang ayah ibuku, adalah saat almarhum ayahandaku masih ada menjaga kami. Ya betul sekali, ayahku yang menjaga kami semua ketika ibu berangkat kerja ke kantornya. Ayah hanya di rumah menjaga dan merawat kami. Yang aku tahu ayah adalah mahasiswa dari IKJ. Sebagai tamatan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), ayah memang punya mimpi yang besar berkelana dari Riau datang ke Jawa, tepatnya Jakarta untuk bisa mencari nafkah dan berpeluang melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Di masa itu pendidikan sebagai guru, sudah merupakan hal yang paling berharga bagi ayah, apalagi ibu juga hanya tamatan SMA yang punya kesempatan baik bekerja di kantor Pajak. Ayah tidak merasa minder pada awalnya, menerima kenyataan semua biaya hidupnya ditanggung oleh ibu, termasuk biaya kuliahnya di IKJ. Bagiku itu sulit kubayangkan saat aku masih kecil, tapi kini aku mengerti betapa harga diri seorang lelaki sangat dipertaruhkan karenanya.

Wajar saja ayah jadi seorang perokok berat, bahkan menurut cerita bibi-bibiku, ayah dibelikan ibu rokok satu boost (kotak besar yang berisi selusin bungkus rokok) kretek merk tertentu, setiap minggunya. Bisa dibilang ayahku adalah lokomotif hidup yang tak pernah berhenti berasap setiap harinya. Entah berapa bungkus rokok isi dalam satu boost itu.Yang jelas menurut versi pakcikku (adik bapak yang sempat bercerita kepadaku), sedikitnya sehari ayah merokok hingga tiga bungkus sehari. Aku kuatir, jangan-jangan satu boost itu berisi dua lusin rokok yang bisa dihabiskannya dalam seminggu. Wuaduh?

Kebiasaan merokok ayah, rupanya diimbangi dengan kebiasaannya berolahraga terutama bertinju dan lari. Darimana hal ini aku tahu? Ya tentu saja dari pamanku, Pakcik Min dan Pakcik Zuki, adik-adik ayahandaku. Lebih lengkapnya aku justru dapat informasi tentang ayah dari si bungsu Pakcik Zuki.

"Ayahmu itu seorang petinju yang gemar sekali berolah raga setiap paginya." jelas pakcik Zuki. "Masalah di Jakarta ketika sudah menikah dengan mbak Warni (demikian dia memanggil nama ibuku) kemudian jadi perokok berat, justru Pakcik baru tahu dari kamu, Rizal." terngiang kisahnya selalu saat aku memikirkan mengapa ayah jadi perokok berat.

Pada akhirnya aku mengerti, ini berkaitan dengan harga diri seorang lelaki dan depresi berat dari ayahku yang begitu mencintai ibuku dan anak-anaknya. Untuk mengurangi kepeningannya sebagai seorang ayah yang harus merawat dan menjaga anak-anaknya, lelaki yang sangat kukagumi ini, mendidikku dengan waktunya secara penuh. Bahkan sempat aku teringat ketika beliau sedang membuat bakpau, kue favorit aku ketika kecil, di depan kami. Saat dia membanting-banting adonan terigu di depan kami dan bunyi berdebumnya di waskom kaleng berwarna kuning, klasik dan jarang kutemui kini. Setiap bantingan adonan selalu membuat kami tertawa senang, apalagi setiap kali ayahku mengangkat adonan dengan mimik wajah lucunya hendak membanting adonan di depan kami, dan kami pun penasaran menunggu setiap bantingan yang menghasilkan bunyi berdebum mengejutkan. Terkadang dia bercanda tak jadi membantingnya, dan kami pun memasang wajah kesal memintanya segera membantingnya. Sungguh kenangan termanis yang pernah ayahku berikan buat kami, khususnya aku dan adikku Linda, entahlah dengan adik-adikku lainnya, apa mereka sudah mengerti dan masih mengingatnya?

Yang jelas aku masih sangat ingat ketika ayahandaku menggendong aku di bahunya, dan akupun seolah berjalan mundur ke belakang ketika dia membawaku berkeliling kampung Duri. Ya aku tinggal di kawasan pemukiman yang masih sederhana, di bilangan Duri, Kota Jakarta, dimana aku dilahirkan. Itulah sebabnya setiap kali aku melewati Stasiun Kereta Api Duri, aku langsung teringat dengan masa kecilku. Hiks, indah sekali.

Untuk sementara itu lah yang bisa aku ceritakan tentang kenangan indah dan manis tentang ayah dan ibuku tercinta. Kini aku harus kembali mempersiapkan diri untuk bekerja dengan seorang sahabatku di kawasan Bekasi. Wassalam.

Kisah tentang nama ayahandaku berasal : Abubakar Sidik bin Muhammad Qasim

Post a Comment

Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur bksOL

Previous Post Next Post
banner